Sabtu, 28 Desember 2013

Mengenal Sang Politikus Dakwah, Pemecah Belah Ahlus Sunnah yaitu Luqman Baabduh

Oleh: Al Ustadz Abdul Barr Kaisinda -hafizhahullah-

Sebelum saya kembali ke tanah air tercinta, Alhamdulillah, Allah berikan taufiq kepada saya untuk menyambangi guru kami Asy Syaikh Abdur Rahman Al Adeny –hafidhohulloh. Pada kesempatan itu, beliau bertanya tentang perihal dakwah di Indonesia. Kemudian beliau bertanya kepada saya, “Siapa sekarang orang yang menggantikan posisi Ja’far Umar Thalib dalam dakwah? Maka saya katakan, “Luqman Ba’abduh ya Syaikh”. Kemudian beliau berkata :
أنا أخشى عليه وهو ليس بذاك وإندونيسيا بلدة كبيرة فيها أمة كبيرة تحتاج إلى واحد قوي يحتفون حوله
“Aku mengkhawatirkan dirinya, karena dia tidak sepantas itu, sedangkan Indonesia adalah negeri yang besar, padanya terdapat umat yang besar, membutuhkan seorang yang kuat (dalam ilmu), (untuk) kaum muslimin merujuk kepadanya.”
Dan ternyata setelah saya pulang ke Indonesia apa yang dikhawatirkan oleh Asy Syaikh Abdur Rahman benar adanya. Ketika orang yang tidak berilmu berbicara tentang agama maka dia akan sesat lagi menyesatkan. Telah benar sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قبل الساعة سنون خداعة يكذب فيها الصادق ويصدق فيها الكاذب ويخون فيها الأمين ويؤتمن فيها
الخائن وينطق فيها الرويبضة
“Sebelum hari kiamat ada tahun-tahun pengkhianatan, orang yang jujur ketika itu didustakan, sedang pendusta dibenarkan, dan orang yang terpercaya dikhianati, sedang pengkhianat dipercaya, dan ketika itu Ar-Ruwaibidhoh pun berbicara”. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan “ruwaibidhoh” disebutkan dalam hadits yang lain :
السفيه يتكلم في أمر العامة
“Orang bodoh yang berbicara dalam urusan umum.”
Asy-Syatibi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-I’tishom (2/651) :
قالوا : الرجل التافه الحقير ينطق في أمور العامة كأنه ليس بأهل أن يتكلم في أمور العامة فيتكلم
“Mereka (ulama) berkata, orang bodoh yang rendah berbicara dalam urusan-urusan umum, seakan ia tidak memiliki kemampuan untuk berbicara dalam urusan-urusan umum namun ia tetap berbicara.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam I’laamul Muwaqqi’in (4/186) :
وقد رأى رجل ربيعة بن أبي عبد الرحمن يبكي فقال ما يبكيك فقال استفتي من لا علم له وظهر في الإسلام أمر عظيم قال وبعض من يفتي ههنا أحق بالسجن من السراق قال   بعض العلماء فكيف لو رأى ربيعة زماننا وإقدام من لا علم عنده على الفتيا وتوثبه عليها ومد باع التكلف إليها وتسلقه بالجهل والجرأة عليها مع قلة الخبرة وسوء السيرة وشؤم السريرة وهو من بين أهل العلم منكر أوغريب فليس له في معرفة الكتاب والسنة وآثار السلف نصيب ولا يبدي جوابا بإحسان
“Dan sungguh seseorang pernah melihat Rabi’ah bin Abdir Rahman sedang menangis, maka ia berkata: Apa yang membuatmu menangis? Beliau menjawab: “Aku menangis karena orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, dan muncul dalam Islam perkara besar, dan sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak dipenjara dibanding para pencuri.” Berkata sebagian ulama: Maka bagaimana lagi jika Rabi’ah melihat zaman kita, dan majunya orang yang tidak memiliki ilmu untuk berfatwa, melompat kedalamnya, memaksakan diri untuk masuk kepadanya, mendakinya dengan kebodohan dan kelancangan atasnya, padahal sedikit pengalamannya, jelek jalan hidupnya, kotor hatinya, dan tidak dikenal atau asing di tengah para ulama, serta tidak memiliki pengenalan terhadap al-kitab dan as-sunnah serta atsar-atsar Salaf, dan tidak pula memberikan jawaban dengan baik.”
Saya pernah menghadiri salah satu rapat majalah Asy-Syari’ah, Ustadz Luqman Ba’abduh yang memimpin majelis, dan ketika itu dia mengusulkan suatu masalah yang bisa dibahas di majalah Asy-Syari’ah, yaitu pengalaman masa lalu kisah nyata tentang orang-orang yang bermaksiat untuk diambil pelajaran.
Lihatlah akibat berbicara tanpa ilmu, bahkan ketika dinasihati dia masih bertahan dengan permasalahan yang sangat jelas kesalahannya, yaitu membongkar aib yang telah Allah ta’ala tutupi, padahala Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أَمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْه
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa terang-terangan, dan sungguh termasuk kegilaan, jika seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian ia masuk waktu pagi dalam keadaan Allah menutupi dosanya, lalu ia sendiri mengatakan: Wahai fulan tadi malam aku berbuat dosa ini dan itu. Padahal ia tidur malam dalam keadaan Rabbnya menutupi aibnya, dan ia masuk waktu pagi seraya menyingkap tutupan Allah darinya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Setelah saya kritik beliau, maka beliau mengelak dan berkata nanti kita tanyakan ulama, padahal dalam banyak kesempatan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah sering ditanya tentang kemaksiatan yang dilakukan seseorang maka beliau menasihatkan untuk tidak merinci pertanyaannya karena yang demikian itu termasuk membongkar aib.
Demikianlah ketika orang yang tidak berilmu berbicara dalam masalah dakwah maka yang keluar darinya bukanlah sejuknya ilmu, tapi justru yang kita lihat dan kita tuai darinya adalah maneuver-manuver dan intrik-intrik dalam dakwah, atau yang lebih tepat diistilahkan dengan politisasi dakwah.
Dan sifatnya yang demikian telah diakui oleh Ustadz Muhammad As-Sewed, maka ketika beliau mengisi dauroh di Jogya, beliau mengingatkan bahayanya politikus. Ternyata saat itu yang terngiang di kepala Ustadz Muhammad adalah: Luqman Ba’abduh. Demikian yang disampaikan Ustadz Muhammad As-Sewed kepada saya dan beberapa Asatidzah dalam satu kesempatan.
Maka dengan sebab itu semakin membuat saya menjauh dan menjaga jarak dengan Ustadz Luqman. Terlebih lagi jika melihat apa yang telah beliau lakukan terhadap dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu memporak-porandakan tatanan persaudaraan antara sesama Ahlus Sunnah dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar tanpa melihat dan menimbang dengan dhowabith dan qowaa’id maslahat dan mudarat, atau kaidah al-badaah bil aham fal aham, atau kaidah adh-dhoror yuzaal, maka yang terjadi adalah kemungkaran yang lebih besar, sebagaimana dikatakan,
من أزال منكراً بانكرا … كغاسل الحيض ببول أغبرا
“Siapa yang menghilangkan kemungkaran dengan sesuatu yang lebih mungkar maka ia seperti seorang yang membersihkan membersihkan darah haid dengan air kencing.”
Marilah kita lihat apa yang dilakukan oleh Ustadz Luqman Ba’abduh di Slipi, beliau kembali melakukan politisasi, ketika beliau menyinggung tentang pertemuan dengan Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah di Ma’bar.
Syaikh Al-Imam menyarankan kepada kami untuk duduk bersama Syaikh Ali Ar-Razihi untuk membahas permasalahan tersebut.
Maka perhatikanlah, andaikan kami politikus seperti Ustadz Luqman maka saran Syaikh Al-Imam adalah kesempatan yang baik dan point yang menguntungkan bagi kami. Kenapa demikian? Karena kami kenal dekat dengan Syaikh Ali Ar-Razihi. Akan tetapi kenyataannya, ketika kami bertemu dengan beliau, kami tidak sedikitpun membuka pembicaraan tentang radio Rodja.
Dan ini membuktikan bahwa tatkala kami bertanya kepada Syaikh Al-Imam bukanlah maksud kami untuk mencari senjata atau membenturkan fatwa seperti tuduhan keji yang dilontarkan Ustadz Luqman kepada kami, seolah-olah beliau mengetahui apa yang ada di hati-hati kami, padahal Ahlus Sunnah sepakat untuk berpegang kepada perkara yang nampak (zhahir) bukan yang tersembunyi dalam hati, maka ini sekaligus membuktikan kedangkalan ilmu beliau terhadap kaidah-kaidah dan hukum-hukum syari’at.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata dalam At-Tamhid (10/157) :
أجمعوا أن أحكام الدنيا على الظاهر وإن السرائر إلى الله عز وجل
“Para ulama sepakat bahwa hukum-hukum dunia sesuai dengan zhahir, adapun hal-hal yang tidak nampak maka kembali kepada Allah ‘azza wa jalla.”
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ قُلُوبَ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ
“Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk membelah hati-hati manusia dan merobek perut-perut mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu)
Maka ketahuilah yang sesungguhnya adalah, kami telah mencukupkan diri dengan fatwa Syaikh Robi’, sehingga kami bertanya kepada Syaikh Al-Imam adalah untuk menambah wawasan keilmuan kami.
Dan perlu diketahui bahwa kami mengetahui yang hadir di majelis Syaikh Al-Imam bukan hanya dari rombongan kami, tapi ada juga orang-orang yang mendukung Ustadz Luqman, maka kalaulah kami punya maksud keji seperti yang dituduhkan Ustadz Luqman, tentunya kami akan meminta majelis yang khusus kepada Syaikh Al-Imam, tidak bersama orang-orang tersebut.
Lihatlah pemutarbalikan fakta yang dituduhkan oleh sang politikus kepada kami, dan bisa jadi kedustaan inilah yang disampaikan kepada Syaikh Robi’ hafizhahullah sehingga beliau menghukumi Ustadz Dzulqarnain sebagai la’aab, suka main-main. Maka lihatlah sesungguhnya siapa yang mempermainkan ulama?!
Dan sangat wajar kalau Syaikh Robi’ memvonis Ustadz Dzulqarnain sebagai la’aab, kalau memang faktanya sudah diputarbalikkan seperti itu.
Jangankan Syaikh Robi’ hafizhahullah sebagai seorang ulama yang kita hormati, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun memberikan hukum sesuai dengan apa yang sampai kepada beliau, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِى لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ بِهِ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya kalian membawa perselisihan kalian kepadaku, dan bisa jadi sebagian kalian lebih pandai menyampaikan hujjahnya dibanding yang lain, sehingga aku memutuskan sesuai dengan apa yang aku dengarkan darinya, maka siapa yang aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya maka janganlah ia mengambilnya, karena sesungguhnya yang aku putuskan baginya adalah potongan dari neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha)
Dan diantara politisasi Ustadz Luqman ketika di Slipi, beliau melecehkan Ustadz Dzulqarnain dalam masalah pendidikan formal, yaitu ketika Ustadz Dzulqarnain menyampaikan fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhahullah, yang tidak terekam atau tertulis.
Lihatlah bagaimana politisasi Ustadz Luqman, beliau membesar-besarkan masalah fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah yang tidak terekam atau tertulis, padahal kalau Ustadz Luqman jujur, mengapa beliau tidak membahas fatwa tertulis Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah yang membolehkan pendidikan formal?!
Sesungguhnya politisasi adalah keahlian Ustadz Luqman sejak di Yaman, yaitu di masa Syaikh Muqbil rahimahullah masih hidup, seharusnya seorang penuntut ilmu di Dammaj menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, tapi tidak demikian dengan Ustadz Luqman.
Lain halnya dengan Ustadz Dzulqarnain, beliau lebih fokus dengan ilmu, sehingga Syaikh Muqbil lebih menganggap Ustadz Dzulqarnain dibanding Ustadz Luqman.
Lalu apa kesibukan Ustadz Luqman?
Beliau lebih fokus untuk mengumpulkan sebagian Ikhwan Indonesia secara berkala untuk memembahas berbagai fitnah yang ada di Indonesia. Padahal orang yang sedikit berakal akan berkata, “Bukankah di sini ada Syaikh Muqbil? Mengapa masalahnya tidak serahkan kepada beliau?” Dan tentunya keputusan Syaikh Muqbil akan lebih diterima semua pihak daripada keputusan Ustadz Luqman.
Diantara maneuver politik dan intrik dalam dakwah yang dilakukan oleh Ustadz Luqman dan belum terjawab sampai detik ini adalah, ketika beliau bertemu dengan Syaikh Rabi’ hafizhahullah di akhir-akhir masa Laskar Jihad dan beliau mendustakan laporan Ustadz Dzulqarnain tentang sepak terjang LJ di hadapan Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
Ustadz Luqman berdusta di hadapan Syaikh Rabi’ dengan mengatakan bahwa laporan Ustadz Dzulqarnain tersebut berisi dusta-dusta. Akan tetapi dalam waktu singkat beliau bermanuver lagi dengan membenarkan hampir seluruh poin yang dilaporkan Ustadz Dzulqarnain.
Apakah gerangan yang menjadikan Ustadz Luqman melakukan maneuver-manuver politiknya tersebut?! Kemudian tiba-tiba menjadi pahlawan?! Padahal semestinya beliau bersyukur terhadap Ustadz Dzulqarnain yang telah menasihati LJ sampai dibawa ke Syaikh Rabi’ hingga akhirnya LJ yang sudah sangat menyimpang dibubarkan, dan janganlah Ustadz Luqman menyimpan dendam terhadap Ustadz Dzulqarnain.
Manuver politik Ustadz Luqman yang lain adalah ketika beliau menyampaikan laporan hasil Jalsah Makkah bersama Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
Kalau kita cermati, sesungguhnya jalsah tersebut adalah pukulan telak untuk Ustadz Luqman, sebab beliau mendapatkan teguran keras dari Syaikh Rabi’ hafizhahullah untuk mejaga lisannya. Syaikh Rabi’ berkata,
احفظ لسانك على إخوانك
“Jaga lisanmu terhadap saudara-saudaramu.”
Sesungguhnya Syaikh Rabi’ telah diberikan taufiq oleh Allah ta’ala untuk menasihati Ustadz Luqman agar menjaga lisannya, sebab memang lisannya itulah yang telah banyak mengakibatkan kemudaratan bagi dakwah Ahlus Sunnah.
Dan bukankah menjaga lisan adalah hal yang sangat penting, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Tidaklah manusia itu diseret di neraka di atas wajah-wajah mereka atau pipi-pipi mereka, kecuali karena hasil perbuatan lisan-lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu)
Tapi kenapa nasihat khusus Syaikh Rabi’ tersebut tidak disebutkan wahai Ustadz?!
Dan diantara pembangkangannya terhadap nasihat Syaikh Rabi’ hafizhahullah adalah ketika Syaikh Rabi’ meminta untuk saling memaafkan, tapi apa yang terjadi?
Ustadz Luqman dengan gagah berani mengatakan, “Aku maafkan kecuali Hanan Bahanan.”
Di mana jiwa besarmu sebagai seorang da’i wahai Ustadz?!
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا لَمْ تَسْتَح فَاصْنَعْ مَا شِئْت
“Kalau kamu tidak malu, maka berbuatlah semaumu.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Mas’ud radhiyallahu’anhu)
Kalau ada rasa malu seharusnya nasihat dan fatwa ulama tersebut juga tidak boleh disembunyikan, namun sangat disayangkan malah dipolitisasi, di manakah kejujuran?!

1 komentar: