Pages

Jumat, 04 Juli 2014

Kritikan Syaikh Abdul Hadi Al Umairy untuk Ustadz Luqman Ba’abduh (bagian 4)


Sangat jauh berbeda antara Manhaj Syaikh Rabi’ dengan Manhaj orang-orang ini.
Kalian mengetahui apa perbedaannya? Syaikh Rabi` seorang yang mutatsabbit (suka mengklarifikasi, pen), beliau tidak pernah menukil sesuatu yang muncul darimu, kecuali sesuatu yang benar-benar tak bisa engkau pungkiri, baik itu tertulis dengan tulisanmu, atau terekam dengan suaramu.
Dan saya meminta mereka membawakan padaku bukti berupa tulisanku atau rekaman suaraku (yang menunjukkan saya membela Abul Hasan, pen), dan mereka tidak akan mendapatkannya! Demikianlah, perbedaan jauh antara mereka, dengan Syaikh Rabi` -semoga Allah menjaganya, pen-. Beliau seorang `alim yang mulia, bukan orang yang tergesa-gesa.
Apalagi?
Syaikh siapa?
 “Syaikh Rabi`….”
Sungguh saya sampai hari ini menghargai beliau, menghormati dan mencintai beliau karena Allah. Apalagi yang dia inginkan? Apalagi yang ia inginkan dariku? Saya seorang penuntut ilmu. Terkadang seorang syaikh menuntut sebuah ilmu dari seorang guru, benar atau salah?! Sungguh saya sudah menuntut ilmu dari masyayikh lain yang diakui oleh Syaikh Rabi` manhaj, akidah, dan ilmu mereka. Mereka adalahmasyayikh. Sampai saat ini, jika beliau (Syaikh Rabi`, pen) ingin menghubungi mereka (guru-guru saya, pen) satu persatu –dan beliau berhak untuk itu-, untuk menyatakan tentang jati diri saya, maka silahkan!
 “Setidaknya akan dekat dengan Syaikh Rabî’ kalau dia semanhaj”
Ini termasuk kesalahan terbesar yang mereka jatuh padanya. Bukankan mereka mengatakan bahwa Abul Hasan suka membuat kaedah-kaedah baru? Mereka –dan begitu juga kami- mengkritik Abul Hasan disebabkan kaedah-kaedah baru yang ia ada-adakan. Bukankah begitu?
Lalu darimana anda mengambil kaedah diatas tadi? (bila semanhaj dengan Syaikh Rabi`, seharusnya Syaikh mengenalnyam pen). Darimana engkau dapatkan perkataan seperti ini?
Dengarkan wahai ikhwan, saya katakana pada Luqman dan selainnya, -saya berbicara diatas ilmu tentunya, dan saya bertanggung jawab atas apa yang akan aku katakan-, datangkan kepada saya ucapan atau tulisan Syaikh Rabi` yang menyatakan bahwa siapa saja yang tidak meghadiri pelajaran beliau, maka ia bukanlah seorang salafy!!?? Pergilah, temui Syaikh Rabi` dan tanyakan kepada beliau tentang perkataan ini, apakah beliau akan menyetujuimu?!?!
Adapun engkau wahai Luqman!! Engkau datang dengan membawa kaedah baru, mengatakan bahwa seandainya dia se-manhaj dengan Syaikh Rabi`, pasti dia akan dekat dengan beliau?!
Lalu bagaimana engkau mengetahui saya jauh dari beliau?! Saya sering mengunjungi beliau, berbicara dan mengucapkan salam pada beliau, namun –seperti yang kalian ketahui-, ratusan orang yang menemui beliau setiap harinya, benar atau tidak?!
Saya katakan, Al A`masy hidup satu negeri dengan Ibnu Abi Aufa, namun beliau tidak meriwayatkan satu pun hadits dari Ibnu Abi Aufa. Engkau wahai Luqman, jika engkau memang penuntut ilmu, periksalah di kitab-kitab hadits!!
Apa yang akan engkau katakana tentang manhaj Al A`masy ini, apa engkau akan berani mengatakan bahwa beliau tidak berada diatas manhaj Ibnu Abi Aufa –seorang sahabat- karena beliau tidak pernah meriwayatkan hadits darinya?
Perkataanmu tidaklah bisa diterima oleh siapapun yang berakal sehat. Datanglah kepada Syaikh, dan paparkan kaedahmu ini pada beliau, apakah beliau akan menyetujuimu?! Darimana engkau dapatkan kaedah seperti ini?
Syaikh Bin Baz, jika ada seseorang yang tidak pernah bermajlis dengan beliau, lantas dia bukan seorangsalafy? Belum cukupkah bagi anda masyayikh yang sudah saya sebutkan diatas? Saya menyertai mereka, bahkan ada yang sampai sekarang. Baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, mereka semua`ulama, Syaikh Rabi` sangat mengenal mereka semua. Saya menyertai mereka, selalu. Washiyyullah Abbas, saya menyertainya selama 15 tahun, bahkan sampai sekarang. Apakah manhaj Syaikh Washiyyullah menurut anda? Apakah perkataan anda ini masuk akal?
Apakah ikhwah yang tidak pernah menghadiri majlis Syaikh Washiyyullah atau Syaikh Ali Adam bukanlah seorang yang bermanhaj? Mayoritas ikhwah yang menyertai Syaikh Rabi`, tidak pernah menghadiri pelajaran kedua Syaikh diatas. Lantas apakah kami mencela mereka? Tidak!! Mereka memiliki udzur, mungkin kehabisan waktu, tidak memiliki waktu selain untuk hadir di majlis Syaikh Rabi` misalkan. Mungkin mereka memiliki prioritas lebih untuk hadir di sisi Syaikh Rabi` karena kebutuhan yang ada pada mereka. Tidak ada masalah sedikit pun dalam hal seperti ini.
Adapun perkataan anda,
“Kalau dia semanhaj dengan Syaikh Rabi`, tentu dia akan dekat dengan beliau”,
darimana engkau ambil kaedah ini?!
Bahkan kami –sampai sekarang- masih mencela mereka-mereka yang membuat kaedah-kaedah baru bagi para pemuda, semisal kaedah yang engkau ada-adakan ini. Lalu engkau datang dengan lancangnya mengusung kaedah barumu ini? –sungguh sangat tidak pantas, pen-.
Cukup, berhenti. Asy Syaikh Muhammad Bazmul, bukankah kalian sudah mendengar rekomendasi dari beliau untukku? – Asy Syaikh tertawa – , dia tidak mengerti, terburu-buru. Inilah akibat dari ketergesa-gesaan, cinta popularitas dan selalu ingin dikenal.
Kalian sudah mendengar pernyataan Syaikh Muhammad Bazmul. Keduanya saudara, dan Syaikh Ahmad Bazmul lebih tua dari beliau. Kalian sudah mendengar pernyataan beliau tentangku, bukankah begitu?
Lalu apalagi yang dia katakan?! Dan penduduk Makkah apa?
“dan thalabatul ‘ilm yang ada di Makkah itu senang untuk datang kepada Syaikh…”
Bukan, bukan. Yang pertama tadi, dan penduduk Mekkah mencintai Syaikh Rabi` dan apa?
“Dan Syaikh Muhammad Bazmul…”
Ulangi dari awal,,
“Orang Makkah itu senang Syaikh Muhammad Bazmul, Syaikh Ahmad Bazmul, wa masyaikh yang lainnya”
Siapa para Masyayikh yang lain? Ayo jawab, siapa yang engkau maksud? Mengapa engkau membiarkan perkataanmu mengambang seperti ini? Beritahu kami siapa yang engkau maksud? Asy-Syaikh Rabi`, Asy-Syaikh Ahmad Bazmul, dan Asy-Syaikh Muhammad saja? Hanya mereka masyayikh Makkah yang engkau anggap?
Engkau membantah dirimu dengan dirimu sendiri. Lihatlah Syaikh Muhammad Bazmul yang sekarang engkau katakan, beliaulah yang merekomendasikan diriku.
Dimana Masyayikh yang lain?
Dimana Syaikh Ali Adam?
Mengapa engkau tidak menyebutkan beliau?
Syaikh Washiyyullah, mengapa tidak engkau sebutkan?
Syaikh Yahya Utsman, mengapa?
Mereka masih hidup sampai sekarang saudara-saudara! Kalian bisa menjumpai mereka! Mengapa engkau tidak menyebut nama mereka? Engkau tidak menyukai mereka? Ataukah tidak mengenal mereka?
Seandainya kami ingin membalas setimpal perlakuanmu, kami akan katakan padamu perkataan seperti ini (bahwa engkau tidak mencintai para masyayikh yang tidak kamu sebut nama mereka, pen). Akan tetapi kami tidak mengatakan seperti apa yang engkau katakan. Saya katakan mungkin saja anda tidak mengenal mereka. Akan tetapi sungguh mereka ini masih ada, masih hidup.
Lalu siapa yang mengatakan kepadamu bahwa saya tidak menyukai Syaikh Rabi`?!
Saya bersaksi pada Allah bahwa saya mencintainya karena Allah!
Bagaimana bisa anda memvonisku demikian?! Sudahkah anda membelah dada saya?!
Engkau vonis saya tidak mencintai Syaikh Rabi`? Ataukah ia hanya sekedar sebuah kaedah yang engkau ada-adakan atas kami?!
“Siapa saja yang tidak pergi/belajar di sisi Syaikh Rabi`, berarti tidak menyukai beliau.”?!
Disinilah letak permasalahannya. Mereka mencela sebagian masyayikh yang sembarangan dalam meletakkan sebuah kaedah, namun ternyata mereka terjatuh pada lubang yang sama!! Namun –tentu saja- mereka tidak merasakannya.
Baik, masyayikh Makkah, siapa mereka?! Mengapa ia tidak menyebutkan dengan rinci?
Apakah hanya mereka yang ia sebutkan saja? Atau apa maksud anda? Apakah engkau ingin membatasi bahwa masyayikh Makkah hanya mereka yang engkau sebutkan saja?!
Syaikh Rabi` tidak akan menyetujuimu dalam hal ini! Mereka lah guru-guruku, kalian sudah mendengar rekomendasi mereka dengan telinga-telinga kalian, lihatlah yang ada padaku sekarang dengan mata-mata kalian. Saya tidak menyembunyikan apapun atau memutar balikkan fakta. Akan tetapi, apa sebenarnya yang membuat dia mengkritik diriku? Adakah sesuatu yang bisa kita terima dari pernyataan orang ini?
Baik, lanjutkan..
“dan thalabatul ‘ilm yang ada di Makkah itu senang untuk datang kepada Syaikh, durus-nya Syaikh, meminta nasihat, meminta …. Kalau dia di Makkah gak pernah mau datang ke majelis Syaikh Rabî’, ini ada catatan dalam manhaj Ahlissunnah “
- Asy Syaikh tertawa -
Seandainya dia tidak pernah mengatakan pernyataan –lucu, pen- seperti ini. Seandainya dia tidak pernah mengatakan pernyataan –lucu, pen- seperti ini. Saya ingin tahu, apakah benar Syaikh Rabi` menyetujui apa yang ia katakan ini. Apakah Syaikh Rabi` benar menyetujui apa yang saudara ini ucapkan? Bawalah ucapan ini kepada Syaikh Rabi`, lalu tanyakan sikap beliau tentangnya.
“Siapa saja yang tidak menghadiri majelisku, dan tidak memperkenalkan dirinya kepadaku, -saya ibnu Fulan ibnu fulan-, tidak membuat aku mengenalnya dan dia pun mengenalku, berarti orang tersebut memiliki catatan –buruk- pada manhajnya.”?!
Apakah beliau akan menyetujui pernyataan ini?
Saudara-saudara, apa yang bisa kita katakan tentang orang-orang seperti ini? Yang bisa kita ucapkan hanyalah “Ya Allah tuntunlah ia menuju jalanMu kembali”
Bagaimana kita menyikapi pernyataan seperti ini? Sebuah kaedah yang tidak seorang pun pernah mengucapkannya sebelumnya. Saya bertanya kepada kalian dengan nama Allah, dengarkan!
Tahukah kalian siapa Abdullah bin Mas`ud?
Dia seorang sahabat bukan?
Siapa anak beliau? Abu `Ubaidah.
Adakah ia pernah meriwayatkan satu hadits saja dari ayahnya? Perbedaan pendapat, -padahal mereka satu rumah- ada yang mengatakan tidak ada satu hadits pun yang pernah ia riwayatkan dari ayahnya. Ia tidak pernah mengambil faedah dari ayahnya. Lalu kemudian kita vonis bahwa manhaj beliau bermasalah?
Ikhwan, kaedah-kaedah ini darimana datangnya? Darimana sumbernya kaedah-kaedah ini?!  Apakah saya harus datang,  lalu merekam segala apa yang pernah saya tanyakan pada Syaikh Rabi`?  kaedah apa ini?  Syaikh Rabi` pun tidak pernah menyatakan kaedah seperti ini.
Lalu siapa yang mengatakan pada anda bahwa saya tidak pernah mengunjungi beliau? Saya mengunjungi beliau!! Tanyakan pada Syaikh Utsman, berapa kali kami sudah mengunjungi Syaikh Rabi`? Kami menyapanya, lalu pulang, beliau memang tidak mengenalku.  Saya akui ini, sampai saat ini, ini bukan aib dan tidak ada kesalahan Syaikh dalam hal ini. Bukan –demi Allah- kesalahan saya, bukan pula kesalahan Syaikh, hal yang biasa! Biasa dan wajar jika beliau tidak mengenal saya. Saya tidak butuh dikenal sebagai Syaikh besar, tidak! Cukup sebagai penuntut ilmu, kami datang kepada beliau, mengucapkan salam, menyapa, lalu pergi. Akan tetapi apakah Syaikh Rabi` harus mengenalku?
Disinilah letak permasalahannya

Bersambung Insya Allah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar